" HUKUM WAKAF UNTUK MASJID ATAU MUSHOLLA "
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Bismillahir-Rahmanir-Rahim...
Wakaf secara bahasa adalah mengekang. Dalam pengertian hukum Islam
wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan
tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau
kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan
dengan syari’at.
Dasar hukum wakaf ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ. رواه مسلم
“Apabila anak adam meninggal dunia, maka
terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu
yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya”.
HR.Muslim.
Para ulama menafsiri kalimat “shodaqoh jariyah” dalam hadits di atas dengan wakaf.
Rukun-rukun Wakaf
Wakaf dapat terbentuk apabila terpenuhi pilar-pilar utamanya.
1. Wakif/orang yang wakaf. Wakif disyaratkan harus orang yang sudah
baligh dan aqil. Wakaf anak yang masih belum baligh atau orang yang gila
hukumnya tidak sah. Sedangkan wakaf dari orang kafir hukumnya sah.
2. Mawquf/barang yang diwakafkan. Syarat obyek yang dapat diwakafkan
harus benda yang dapat dimanfaatkan tidak dengan merusak bendanya. Maka
tidak sah hukumnya wakaf lilin karena penggunaannya dengan merusak
bendanya. Demikian pula tidak sah mewakafkan uang tunai, karena
pemanfaatannya dengan cara dibelanjakan.
3. Shighot/kalimat wakaf.
Shighot wakaf harus diucapkan secara lisan, tidak cukup dengan
diucapkan dalam hati saja (niyat). Sedangkan shighot wakaf dalam bentuk
tulisan dianggap sah jika disertai dengan niyat saat menulis.
Jika seseorang membuat bangunan bentuk masjid dan mempersilahkan untuk
dijadikan tempat shalat, yang demikian ini masih belum dianggap wakaf
sehingga bangunan tersebut statusnya masih tetap menjadi milik yang
bersangkutan karena tidak terdapat kalimat sighot wakaf. Kecuali jika
mempersilahkan bangunan tersebut untuk ditempati I’tikaf, maka hukumnya
menjadi masjid.
Yang demikian ini dikarenakan i’tikaf tidak sah
kecuali dilakukan di masjid sehingga pemberian ijin dari yang
bersangkutan untuk beri’tikaf di bangunan tersebut mengisyaratkan
bermaksud dijadikan sebagai masjid. Berbeda dengan hanya sekedar
mempersilahkan untuk ditempati shalat saja.
4. Mawquf ‘alaih/penerima wakaf.
Ada dua macam penerima wakaf:
1. Mawquf ‘alaih mu’ayyan. Yaitu, wakaf kepada perorangan tertentu yang disebutkan oleh wakif, baik satu orang atau lebih.
2. Mawquf ‘alaih ghoyru mu’ayyan. Yaitu, wakaf kepada orang yang tidak
ditentukan, seperti kepada golongan fakir miskin, santri pondok, kaum
muslimin dan lain-lain.
Dalam wakaf kepada mawquf ‘alaih
mu’ayyan, disyaratkan harus sudah wujud mawquf ‘alaihnya ketika shighot
wakaf diucapkan, maka tidak sah wakaf kepada orang yang belum lahir,
atau kepada masjid yang belum dibangun. Sedangkan wakaf kepada mawquf
‘alaih ghoyru mu’ayyan disyaratkan tidak untuk tujuan ma’siyat, seperti
gereja dan lain-lain.
Wakaf Masjid
Ada beberapa macam shighot dalam wakaf masjid:
Sebidang tanah diwakafkan menjadi masjid, seperti perkataan wakif:
“ Aku jadikan tempat ini sebagai masjid ”.
Dengan perkataan wakif seperti ini, menurut pendapat yang kuat hukumnya
secara langsung tanah yang dimaksud menjadi masjid meskipun tidak
terdapat bangunan masjid, sehingga hamparan tanah itu diberlakukan hukum
masjid, seperti haram bagi yang berhadats besar berdiam di tempat itu,
sah i’tikaf, sunnah shalat tahiyyatul masjid dan lain-lain.
Dengan demikian masjid tidak harus berbentuk fisik bangunan, meskipun
berupa hamparan tanah kosong, jika oleh pemiliknya dijadikan masjid
dengan shighot sebagaimana diatas, maka sah hukumnya.
Oleh karena
seluruh hamparan tanah tersebut statusnya langsung berubah menjadi
masjid, maka pemanfaatan tanah tersebut secara keseluhuran harus
difungsikan masjid, dan tidak boleh ada bagian tanah yang difungsikan
untuk selain masjid, misalnya dibangun toilet, kantor dan lain-lain.
- Wakaf tanah agar dibangun masjid. Berbeda dengan bagian pertama,
wakaf model ini, wakif tidak menjadikan tanah yang dimaksud sebagai
masjid, tetapi dimaksudkan agar di atastanah itu dibangun masjid. Dengan
demikian tanah yang diwakafkan tidak serta merta menjadi masjid, akan
tetapi statusnya sebagai tanah wakaf yang disyaratkan oleh wakif agar
dibangun masjid.
Wakaf model ini memungkinkan pembangunan fisik
masjid sesuai dengan model masjid yang berlaku saat wakaf. Artinya,
hamparan tanah itu tidak harus seluruhnya dibangun fisik masjid, dan
boleh dibangun beberapa fasilitas pendukung masjid menurut yang berlaku
pada saat itu, seperti kamar mandi, toilet, halaman dan lain-lain.
- Wakaf bangunan menjadi masjid. Artinya tanah dan bangunan yang sudah
jadi, diwakafkan menjadi masjid, baik bangunan tersebut model masjid
atau tidak. Wakaf masjid model ini menjadikan tanah dan bangunan
tersebut dihukumi masjid setelah shighot wakaf diucapkan.
-
Menghimpun dana untuk pembangunan masjid di atas lahan kosong yang bukan
berstatus masjid. Artinya, uang atau barang yang terkumpul dari
penyumbang digunakan untuk pembangunan masjid. Wakaf masjid model ini
tidak memerlukan shighot. Karena bangunan yang berdiri dari hasil
sumbangan itu dengan sendirinya berlaku hukum masjid meskipun tidak
terdapat shighot wakaf dari penyumbang maupun pengurus masjid, sebab
setiap bahan material bangunan yang sudah terpasang dalam bangunan fisik
masjid dengan sendirinya menjadi masjid.
Adapun uang atau barang
yang terkumpul dan dibelanjakan untuk pembangunan sarana penunjang
masjid, seperti kamar mandi dan lain-lain, tidak dihukumi masjid, sebab
pada saat penarikan sumbangan, masing-masing penyumbang sudah dapat
memahami bahwa uang atau material yang terkumpul dari para penyumbang
tidak hanya dialokasikan untuk biaya pembangunan fisik masjid, tetapi
juga untuk sarana penunjang lainnya.
Dengan demikian pengurus
pembangunan masjid boleh mengunakan sebagian dari sumbangan yang
terkumpul untuk pembangunan sarana penunjang masjid berdasarkan kerelaan
dari penyumbang yang dapat diketahui dari kebiasaan yang berlaku dalam
pembangunan masjid.
Jika ada bangunan dengan model masjid, sedang
kita tidak mengetahui secara pasti siapa yang membangunnya, apakah
dibangun di atas tanah tak bertuan (ardlul mawat) atau tanah milik, dan
apakah yang membangunya telah melafadzkan shighot wakaf atau tidak, maka
diberlakukan hukum-hukum masjid atas bangunan tersebut, baik telah
masyhur di kalangan masyarakat penyebutan masjid atau tidak
Kepengurusan Masjid
Dalam hukum Islam, kepemilikan atas benda yang diwakafkan kepada mawquf
ghoyru mu’ayyan, seperti masjid, pondok pesantren dan semisal,
sepenuhnya terlepas dari hubungan hak seseorang, dalam istilah fiqh
disebut wakaf tahriri .
Menurut pendapat yang kuat, kepemilikan
atas barang wakaf kepada perorangan atau bukan perorangan berpindah
kepada Allah, yakni terlepas dari kepemilikan pribadi seseorang. Maka
barang wakaf tidak menjadi milik wakif/orang yang mewakafkan juga tidak
menjadi milik mawquf ‘alaih/penerima wakaf.
Pendapat lain
mengatakan milik wakif. Ada pula yang mengatakan milik mawquf ‘alaih.
Tetapi perbedaan pendapat ini berlaku pada wakaf yang dimaksudkan untuk
diambil penghasilannya. Berbeda dengan wakaf yang jelas tahrir, seperti
masjid dan wakaf untuk pemakamanan umum, maka para ulama’ sepakat
kepemilikannya untuk Allah.
Oleh karena hak atas barang wakaf
terlepas dari ikatan seseorang, maka agama memerintahkan harus ada orang
yang megelola dan merawat benda wakaf. Dalam fiqh disebut nadhir.
Dalam kaitan pengelolaan masjid, kepengurusan masjid ada dua macam:
nadhir dan qoyyim. Nadhir adalah orang yang bertanggung jawab atas
perawatan, pemeliharaan dan pengembangan aset wakaf. Sedangkan qoyyim
adalah pekerja lapangan yang bertugas membantu nadhir dalam menjaga,
merawat serta memakmurkan masjid.
Penentuan orang yang bertugas
sebagai nadhir dapat dilakukan melalui penunjukan langsung oleh wakif,
artinya wakif mempunyai hak untuk menunjuk siapa yang akan mengurus
harta yang diwakafkan. Apabila wakif tidak menunjuk seseorang yang
bertugas sebagai nadhir, maka tokoh masyarakat (sulaha’ul balad) wajib
menunjuk seseorang yang bertugas sebagai nadhir, jika tidak maka ia
berdosa. Nadhir yang ditunjuk oleh wakif atau dibentuk oleh tokoh
masyarakat dapat terdiri dari beberapa orang yang salah satunya ditunjuk
sebagai ketua yang memiliki tanggung jawab penuh atas tugas-tugas
nadhir.
Pejabat nadhir yang ditunjuk harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Al-‘adalah. Yakni, dapat dipercaya dan berkelakuan baik.
2. Al-kifayah wal ihtida’ ilat tasaharruf. Yakni, memiliki kemampuan dalam mengelola harta wakaf.
Takmir Masjid
Istilah takmir masjid sebenarnya tidak dikenal dalam fiqh. Secara
bahasa takmir berarti meramaikan. Takmir masjid berarti yang meramaikan
masjid.
Bisa jadi istilah yang populer di Indonesia ini merujuk pada ayat Al-qur’an:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ
ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ
إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٟٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ
ٱلْمُهْتَدِينَ ﴿١٨﴾
“ Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah
ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk ”.
QS:Taubah 9:18.
Apabila dilihat pada fungsi dan tugas-tugas takmir masjid yang terdiri
dari beberapa pengurus yang memilki tugas dan wewenang sesuai dengan
jabatannya, ketakmiran masjid ini adakalanya tercakup dalam fungsi dan
tugas nadhir ada pula yang tercakup dalam fungsi dan tugas qoyyim.
Tugas Nadhir Masjid
Secara umum tugas nadhir adalah bertanggung jawab atas segala hal yang
menyangkut pengelolaan, pemanfaatan, perawatan dan pengembangan harta
masjid. Semua kebijakan yang diambil oleh nadhir harus selalu
mempertimbangkan kemaslahatan yang kembali kepada masjid. Penggunaan
harta masjid harus didasarkan kepentingan masjid yang bersangkutan.
Secara rinci tugas-tugas tersebut dapat dibagi sebagai berikut:
Mengelola Harta Masjid
Yang dimaksud dengan harta masjid adalah semua harta yang dimilki
masjid. Harta milik masjid dapat diperoleh dari pemberian/hibah atau
hasil wakaf.
Asas penglolaan harta masjid adalah kemaslahatan
yang kembali kepada masjid. Artinya segala kebijakan yang diambil oleh
nadhir harus selalu mengacu kepada kepentingan masjid. Penggunaan harta
masjid tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi atau lembaga
diluar masjid yang bersangkutan. Harta masjid tidak sah dihibahkan,
dipinjamkan dan dihutangkan kepada pihak manapun, karena masjid sebagai
lembaga bukan tergolong ahliyatut tabarru’ (yang dapat berderma dan
memberi pinjaman).
Pada umumnya pengurus masjid banyak yang
kurang memperhatikan tentang pemanfaatan harta masjid. Sering dijumpai
harta masjid digunakan untuk kepentingan pribadi, baik pribadi pengurus
atau orang lain, seperti menggunakan inventaris masjid atau pondok untuk
acara pernikahan dan lain-lain, meminjam/hutang uang masjid atau
pondok. Praktek ini jelas haram hukumnya dan tergolong ghoshob, meskipun
atas seizin ketua atau pengurus lainnya, baik pengurus tersebut
memperoleh gaji atau tidak, sebab pemanfaatan harta masjid harus
sepenuhnya untuk kepentingan masjid yang bersangkutan bukan kepentingan
pengurus atau lainnya.
Nadhir masjid juga dituntut untuk sedapat
mungkin mengembangkan harta masjid yang berpotensi mendatangkan
keuntungan. Bahkan jika dimungkinkan, harta masjid yang tidak sedang
dibutuhkan untuk keperluan masjid, dapat diperdagangkan untuk memperoleh
keuntungan. Dalam usaha mengembangkan harta masjid, nadhir dituntut
untuk berlaku hati-hati sebelum memutuskan. Resiko kerugian harus secara
cermat diperhitungkan.
Penyaluran Harta Masjid
Harta yang dimilki oleh masjid harus disalurkan sesuai dengan keperuntukannya.
Penggunaan harta masjid secara umum terbagi menjadi dua:
1. Imaraoh.
Yaitu segala kebutuhan masjid yang berkaitan dengan fisik masjid,
seperti pembangunan fisik, pagar, cat dan lain-lain. Termasuk dalam
kategori ini, keperluan masjid yang berkaitan dengan kebersihan masjid
dan peralatannya, seperti sapu dan lain-lain, juga gaji yang diberikan
untuk petugas kebersihan masjid.
2. Masolih.
Yaitu segala
kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan masjid, baik untuk keperluan
fisik masjid sebagaimana dalam bagian pertama atau keperluan-keperluan
lainnya, seperti karpet, penerangan masjid, pengeras suara bahkan
makanan yang disajikan untuk para jama’ah jika diperlukan untuk
meramaikan masjid, dan lain-lain. Bagian ini sifatnya lebih umum dari
bagian pertama.
Harta masjid yang didapat dari wakaf, harus
disesuaikan dengan keperuntukan wakaf tersebut. Jika didapat dari hasil
wakaf untuk pembangunan masjid (imaroh), maka hasil wakaf tersebut hanya
dapat dipergunakan untuk pembangunan masjid, dan jika didapat dari
hasil wakaf untuk kebutuhan masjid (masolih) atau tidak ada penjelasan
secara rinci dari wakif, maka hasil wakaf dapat dipergunakan untuk semua
kepetingan masjid.
Demikian juga harta yang didapat dari hibah,
jika penyumbang menyatakan pemberian tersebut hanya untuk pembangunan
misalnya, maka sumbangan tersebut hanya dapat dipergunakan untuk hal
yang berkaitan dengan pembangunan masjid, dan apabila tidak dinyatakan,
maka dapat dipergunakan untuk semua kepentingan masjid.
Hukum
membuat hiasan atau aksesori masjid, menjadi perdebatan para ulama’, ada
yang memperbolehkan asal tidak menggunakan uang masjid ada pula yang
mengharamkan. Sebagian yang lain menyatakan makruh jika dapat mengganggu
konsentrasi orang yang sedang shalat. Menurut sebagian ulama’ madzhab
Syafi’i, jika dimaksudkan untuk memperindah masjid sehinggga nampak
megah dan agung, maka hukumnya adalah boleh bahkan tergolong kebaikan.
Menjaga dan Merawat Masjid
Salah satu tugas utama nadhir adalah menjaga dan merawat masjid agar
tetap terawat sehingga terasa nyaman bagi pengunjung. Disamping merawat
kondisi masjid, nadhir juga harus mengawasi penggunaan fungsi masjid dan
segala fasilitas yang dimilikinya. Masjid dan fasilitas yang dimiliki
harus terjaga dari penggunaan yang bukan semestinya.
Bangunan
fisik masjid tidak boleh dirubah atau dibongkar tanpa ada sebab yang
menuntutnya. Menurut para ulama’ madzhab Syafi’i, pembongkaran bangunan
masjid hanya diperbolehkan karena alasan yang mendesak, seperti
perluasan masjid karena sudah tidak mampu menampung jama’ah, arah kiblat
masjid tidak tepat, sehingga harus dibongkar dan diluruskan tepat ke
arah kiblat, atau rapuhnya bangunan yang mengharuskan dilakukan
renovasi. Renovasi masjid tidak boleh dilakukan hanya karena alasan
mengikuti model.
Apabila dilakukan renovasi atau perluasan masjid
karena perluasan atau bangunan yang sudah rapuh, maka sisa bongkaran
masjid harus disimpan jika masih dibutuhkan untuk dipergunakan kembali.
Dan jika tidak dibutuhkan lagi atau tidak memungkinkan untuk disimpan,
maka boleh dijual. Hasil dari penjualan sedapat mungkin dipergunakan
untuk membeli barang sejenis.
Inventaris yang dimilki masjid,
seperti karpet, speker, dan lain-lain, yang dibeli dengan uang milik
masjid atau hibah dari seseorang hukumnya dapat dijual apabila
diperlukan. Sedangkan yang didapat dari wakaf seseorang maka tidak boleh
dijual.
Penerangan masjid adalah satu fasilitas penting yang
dimiliki masjid. bahkan sunnah hukumnya menyediakan fasilitas lampu dan
alas lantai didalam masjid. Nadhir berkewajiban untuk memperhatikan
penggunaan lampu penerangan masjid. Artinya penggunaan lampu harus
disesuaikan dengan kebutuhan.
Penggunaan lampu secara berlebihan
hukumnya adalah haram, karena pemborosan kas masjid. Pada malam hari
ketika jama’ah sudah tidak ada, seluruh penerangan masjid harus
dimatikan, kecuali beberapa lampu kecil untuk penerangan bangunan masjid
agar tetap terlihat megah .
Untuk menjaga keamanan masjid dan
barang-barang yang dimilki masjid, nadhir dibenarkan menutup pintu
masjid sebagai langkah antisipasi.
Masjid sebagai tempat
beribadah harus terjaga kesuciannya. Benda najis tidak boleh ada yang
masuk ke dalam masjid, jika terlihat ada najis di masjid, maka harus
segera disucikan. Adapun hukum membawa sandal ke dalam masjid
sebagaimana yang umum terjadi, hukumnya diperbolehkan apabila terjaga
dari najis dengan cara di bungkus atau di bersihkan terlebih dahulu.
Menurut para ulama’ mengajar anak-anak kecil dimasjid hukumnya adalah
diperbolehkan dengan syarat harus dapat menjaga mereka dari rama-ramai,
bermain dan mengotori masjid. Demikian juga makan-makan atau membagi
makanan di dalam masjid pada dasarnya adalah diperbolehkan, kecuali
apabila mengakibatkan kotornya masjid.
Gaji Pengurus Masjid
Menurut sebagian ulama’, pengurus masjid yang tidak mampu atau tidak
bekerja karena sibuk mengurus masjid, berhak memperoleh gaji. Gaji yang
berhak diterima oleh pengurus masjid tidak boleh melampaui ujroh mitsil,
yakni upah yang umum berlaku pada pekerjaan yang sama.
Demikian
juga mereka yang mengumpulkan dana untuk masjid, berhak menerima gaji
sesuai dengan ujroh mitsil. Sedangkan sistem gaji dengan pola bagi hasil
sesuai dengan prosentase yang disepakati dengan petugas pencari dana
sebagaimana yang biasa berlaku di masyarakat adalah tidak dibenarkan.
Wallahu'alam bishshawab
Wabilahi Taufik Wal Hidayah
Wassalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Silahkan bila ingin SHARE...
Semoga BERMANFAAT...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar